BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Tujuan
Penulisan Makalah
tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui bagaimana Sejarah dari NU.
2.
Untuk
mengetahui bagaimana paham keagamaan NU.
3.
Untuk
mengetahui susunan
pengurus PBNU
Pertama.
4.
Untuk
mengetahui Bagaimana Perjalanan
NU di Indonesia.
B.
Sistematika
Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
A.
Tujuan Penulisan
B.
Sistematika Penulisan
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Teknologi
B.
Manfaat Teknologi
C.
Macam – macam Teknologi
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
Teknologi dapat
digunakan dalam kehidupan.
B.
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Kelahiran NU
Nahdlatul
Ulama’, disingkat NU, artinya kebangkitan ulama’. Sebuah organisasi yang
didirikan oleh para ulama’ pada tanggal 31 Januari 1926/ 26 Rajab 1344 H di
Surabaya.
Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924, Syarif Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni, yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan dengan system bermadzhab, tawasul, ziarah kubur, maulid Nabi dan lain sebagainya, akan segera dilarang.
Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924, Syarif Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni, yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan dengan system bermadzhab, tawasul, ziarah kubur, maulid Nabi dan lain sebagainya, akan segera dilarang.
Tidak
hanya itu, Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan pengaruh kekuasaannya ke
seluruh dunia Islam. Dengan dalih demi kejayaan Islam, ia berencana meneruskan
kekhilafan Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya daulah Utsmaniyyah.
Untuk itu dia berencana menggelar Muktamar Khilafah di Kota Suci Makkah,
sebagai penerua Khilafah yang terputus itu.
Seluruh
negara Islam di dunia akan diundang untuk menghadiri muktamar tersebut,
termasuk Indonesia. Awalnya, utusan yang direkomendasikan adalah HOS
Cokroaminoto (SI), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab Chasbullah
(pesantren). Namun, rupanya ada permainan licik diantara kelompok yang
mengusung para calon utusan Indonesia. Dengan alas an Kiai Wahab tidak mewakili
organisasi resmi, maka namanya dicoret dari daftar calon utusan.
Peristiwa
itu menyadarkan para ulama’ pengasuh pesantren akan pentingnya sebuah
organisasi. Sekaligus menyisahkan sakit hati yang mendalam, karena tidak ada
lagi yang bisa dititipi sikap keberatan akan rencana Raja Ibnu Saud yang akan
mengubah model beragama di Makkah. Para ulama’ pesantren sangat tidak bisa
menerima kebijakan raja yang anti kebebasan bermadzhab, anti mauled Nabi, anti
ziarah makam dan lain sebagainya. Bahkan santer terdengar berita makam Nabi
Muhammad SAW pun berencana digusur.
Bagi
para kyai pesantren, pembaruan adalah suatu keharusan. KH. Hasyim Asy’ari juga
tidak mempersoalkan dan bisa menerima gagasan para kaum modernis untuk
menghimbau umat Islam kembali pada ajaran Islam murni. Namun Kyai Hasyim tidak
bisa menerima pemikiran mereka yang meminta umat Islam melepaskan diri dari
system bermadzhab.
Disamping
itu, karena ide pembaruan dilakukan dengan cara melecehkan, merendahkan dan
membodoh-bodohkan, maka para ulama’ pesantren menolaknya. Bagi mereka,
pembaruan tetap dibutuhkan, namun tidak dengan meninggalkan khazanah keilmuan
yang sudah ada dan masih relevan. Karena latar belakang yang mendesak itulah
akhirnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ didirikan.
Pendiri
resminya adalah Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asyari, pengasuh Pondok Pesantren
Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek dan
motor penggerak adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah, pengasuh Pondok Pesantren
Bahrul ‘Ulum Tambakberas, Jombang. Kiai Wahab adalah salah seorang murid utama
Kiai Hasyim. Ia lincah, energik dan banyak akal.
Susunan
pengurus PBNU yang pertama (1926) :
Syuriah:
Rais Akbar : KH. M. Hasyim Asy’ari
(Jombang)
Wakil rais Akbar : KH. Dahlan Ahyad, Kebondalem (Surabaya)
Katib Awal : KH. Abdul Wahab Chasbullah (Jombang)
Katib Tsani : KH. Abdul Chalim (Cirebon)
A’wan : KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
: KH. Ridwan Abdullah (Surabaya)
: KH. Said (Surabaya)
: KH. Bisri Syansuri (Jombang)
: KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)
: KH. Nahrowi (Malang)
: KH. Amin (Surabaya)
: KH. Masykuri (Lasem)
: KH. Nahrowi (Surabaya)
Mustasyar : KH. R. Asnawi (Kudus)
: KH. Ridwan (Semarang)
: KH. Mas Nawawi, Sidogiri (Pasuruan)
: KH. Doro Muntoho (Bangkalan)
: Syeikh Ahmad Ghonaim al-Misri (Mesir)
: KH. R. Hambali (Kudus)
Wakil rais Akbar : KH. Dahlan Ahyad, Kebondalem (Surabaya)
Katib Awal : KH. Abdul Wahab Chasbullah (Jombang)
Katib Tsani : KH. Abdul Chalim (Cirebon)
A’wan : KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
: KH. Ridwan Abdullah (Surabaya)
: KH. Said (Surabaya)
: KH. Bisri Syansuri (Jombang)
: KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)
: KH. Nahrowi (Malang)
: KH. Amin (Surabaya)
: KH. Masykuri (Lasem)
: KH. Nahrowi (Surabaya)
Mustasyar : KH. R. Asnawi (Kudus)
: KH. Ridwan (Semarang)
: KH. Mas Nawawi, Sidogiri (Pasuruan)
: KH. Doro Muntoho (Bangkalan)
: Syeikh Ahmad Ghonaim al-Misri (Mesir)
: KH. R. Hambali (Kudus)
Tanfidziyyah:
Ketua : H. Hasan Gipo (Surabaya)
Penulis : M. Sidiq Sugeng Judodiwirjo (Pemalang)
Bendahara : H. Burhan (Gresik)
Pembantu : H. Soleh Sjamil (Surabaya)
: H. Ichsan (Surabaya)
: H. Dja’far Alwan (Surabaya)
: H. Utsman (Surabaya)
: H. Ahzab (Surabaya)
: H. Nawawi (Surabaya)
: H. Dachlan (Surabaya)
: H. Mangun (Surabaya)
Penulis : M. Sidiq Sugeng Judodiwirjo (Pemalang)
Bendahara : H. Burhan (Gresik)
Pembantu : H. Soleh Sjamil (Surabaya)
: H. Ichsan (Surabaya)
: H. Dja’far Alwan (Surabaya)
: H. Utsman (Surabaya)
: H. Ahzab (Surabaya)
: H. Nawawi (Surabaya)
: H. Dachlan (Surabaya)
: H. Mangun (Surabaya)
Organisasi
Nahdltul Ulama’ didirikan dengan tujuan untuk melestarikan, mengembangkan dan
mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan menganut salah satu
dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali).
Bahkan
dalam Anggaran Dasar yang pertama (1927) dinyatakan bahwa organisasi tersebut
bertujuan untuk memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab
empat.
Kegiatan-kegiatan
yang dilakukan kala itu antara lain :
1. Memperkuatpersatuan
ulama’ yang masih setia kepada madzhab.
2. Memberikkan
bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada lembaga-lembaga
pendidikan Islam.
3. Penyebaran
ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan madzhab empat.
4. Memperluas
jumlah madrasah dan memperbaiki organisasinya.
5. Membantu
pembangunan masjid-masjid, langgar dan pondok pesantren.
6. Membantu
anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.
Dalam
pasal 3 Statuten Perkumpulan NU (1933) disebutkan:
“Mengadakan perhubungan diantara
ulama’-ulama’ yang bermadzhab, memeriksa kitab-kitab apakah itu dari kitab
Ahlussunnah Waljama’ah atau kitab-kiitab ahli bid’ah, menyiarkan agama Islam
dengan cara apa saja yang halal; berikhtiar memperbanyak madrasah, masjid,
surau dan pondok pesantren, begitu juga dengan hal ikhwalnya anak yatim dan
orang-orang fakir miskin, serta mendirikan baddan-badan untuk memajukan urusan
pertanian, perniagaan, yang tidak dilarang oleh syara’ agama Islam”.
B. Perjalanan Nahdlatul Ulama’
1)
1926 – 1942
Berdiri
di Surabaya atas nama perkumpulan para ulama’. Pada masa ini perjuangan
dititik-beratkan pada penguatan paham Ahlussunnah Waljama’ah terhadap serangan
penganut ajaran Wahabi. Diantara program kerjanya adalah menyeleksi kitab-kitab
yang sesuai/tidak sesuai ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Di samping melakukan
penguatan persatuan diantara para kyai dan pengasuh pesantren.
Pada
tahun 1937, empat orang tokoh pergerakan Islam berkumpul di Surabaya untuk
mendirikan federasi organisasi Islamm. Mereka adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah
dan KH. Dahhlan Ahyad (keduuanya dari NU), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan
Wondoamiseno (Sarekat Islam). Pertemuan menyepakati berdirinya Majlis Islam A’la
Indonesia, disingkat MIAI.
Selain
KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Dahlan Ahyad yang tercatat sebagai salah
seorang pendiri MIAI, dalam perjalanan selanjutnya KH. A. Wachid Hasyim
terpilih sebagai Ketua Dewan MIAI – jabatan tertinggi yang ada dalam organisasi
itu. Ketika putera Hadratus Syeikh KH. M Hasyim Asy’ari itu mengundurkan diri,
posisinya digantikan oleh KH. M. Dahlan, yang juga tokoh NU.
Selain mereka, terdapat juga nama KH. Zainul Arifin, yang menjabat Ketua Komisi Pemberantas Penghinaan Islam dan KH. Machfudz Siddiq dalam Komisi Luar Negeri MIAI. Peranan para tokoh NU sangat dominan dalam menentukan perjalanan MIAI.
Selain mereka, terdapat juga nama KH. Zainul Arifin, yang menjabat Ketua Komisi Pemberantas Penghinaan Islam dan KH. Machfudz Siddiq dalam Komisi Luar Negeri MIAI. Peranan para tokoh NU sangat dominan dalam menentukan perjalanan MIAI.
Namun
ketika Jepang datang (Maret 1942), semua organisasii social kemasyarakatan dan
organisasi politik di Indonesia dibekukan. Termasuk NU dan MIAI. Bahkan Rais
Akbar NU KH. M. Hasyim Asy’ari dan Ketua Umum PBNU KH. Machfudz Siddiq ditahan
oleh Jepang.
2)
1942 – 1945
Ketika
ormas-ormas dibekukan oleh Dai Nippon, perjuangan para kiai NU difokuskan
melalui jalur diplomasi. Tahun 1942, K.H. A.Wachid Hasyim dan beberapa kiai
masuk sebagai anggota Chuo Sangi-In(parleman Jepang).
Lewat
parlemen itu pula KH. A. Wachid Hasyim meminta agar pemerintahan balatentara
Jepang mengijinkan NU dan Muhammadiyah diaktifkan kembali. Pada bulan September
1943, pemerintaan itu baru dikabulkan. NU dan Muhammadiyah bisa beraktivitas
kembali seperti di masa penjajahan Belanda.
Perjuangan
diplomasi terus ditingkatkan. Pada akhir Oktober 1943, atas prakarsa NU dan
Muhammadiyah pula,didirikan wadah perjuangan baru bagi umat Islam bernama
Majelis Syuro Muslimin Indonesia, disingkat Masyumi, dengan KH. A. Wachid
Hasyim Asy’ari sebagaian pimpinan tertinggi. Sedangkan K.H.A.Wachid Hasyim
duduk sebagai wakilnya. Masyumi adalah kelanjutan dari MIA yang dibubarkan oleh
balatentara Jepang.
Ketika
pemerintahan balatentara Jepang meminta para pemuda Islam Indonesia bergabung
menjadi prajurit pembantu tentara Jepang(Heiho), KH. A. Wachid Hasyim atas nama
pemimpin Masyumi, justru meminta agar jepang melatih kemiliteran pemuda Islam
secara khusus dan terpisah. Pada 14 Oktober 1944, permintaan itu dikabulkan
dengan dibentuknya Hizbullah. Mereka dilatih kemiliteran oleh para komandan
PETA dengan pengawasan prajurit Jepang. Bertindak sebagai Panglima Tertinggi
Hizbullah adalah KH. Zainul Arifin dari NU.
Sejak
itu pesantren-pesantren berubah menjadi markas pelatihan Hizbullah. Para santri
menjadi prajurit dan para Gus (putra kiai) menjadi komandannya. Sedangkan para
kiai sebagai penasehat spiritual sekaligus penentu kebijakannya.
Sementara
di bidang politik, selain aktif dalam pucuk pimpinan masyumi, KH. A. Wahid
Hasyim juga duduk sebagai Pimpinan Tertinggi Shumubu (Departemen Agama),
menggantikan KH. M. hasyim Asy’ari yang berhalangan untuk berkantor di Jakarta.
3)
1945 – 1952
Ketika
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada
29 April 1945, KH. A. Wahid Hasyim duduk sebagai salah satu anggotanya. Begitu
juga dengan KH. A. Wahab Chasbullah, KH. Masjkur dan KH. Zainul Arifin. KH. A.
Wahid Hasyim bergabung sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Ia juga tercatat sebagai salah seorang perumus dasar Negara dan turut
serta sebagai penanda tangan Piagam Jakarta, bersama delapan orang lainnya.
Disaat
belanda datang lagi dengan membonceng tentara sekutu sambil mengultimatum agar
pejuang Indonesia menyerah, NU mengeluarkan Fatwa Jihad pada 22 Oktober 1945.
Fatwa yang dikenal dengan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama’ itu mampu membakar
semangat perjuangan kaum muslimin. Mereka tidak gentar menghadapi kematian
karena perang tersebut dihukumi Perang Sabil (perang agama).
Setelah
Indonesia merdeka, banyak tokoh NU menduduki jabatan penting dalam
pemerintahan.
a. Dalam
Kabinet Presidensil (2 September 1945), KH. A. Wahid Hasyim duduk sebagai
Menteri Negara.
b. Dalam
Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946), KH. Fathur Rahman Kafrawi duduk sebagai
Menteri Agama dan KH. A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang Menteri Negara.
c. Dalam
Kabinet Amir Syarifuddin II (1947), KH. Masjkur sebagai Menteri Agama.
d. Dalam
Kabinet Hatta I, Kabinet Hatta II dan Kabinet Susanto (1948-1949), KH. Masjkur
Sebagai menteri Agama.
e. Dalam
Kabinet RIS (20 Desember 1949 – 3 April 1952), KH. A. Wahid Hasyim Sebagai
Menteri Agama.
Sementara dalam dunia kemiliteran,
sejak tahun 1947 seluruh lasykar dibubarkan pemerintah, digabung menjadi satu
dalam wadah Tentara Nasional Imdonesia(TNI).banyak tokoh NU yang telah lama
aktif dalam Hizbullah bergabung ke dalam TNI.mereka turut memper kuat barisan
angkatan perang yang baru lahir itu
4)
1952 - 1973
Lewat
Muktamar NU ke-19 di Palembang pada 1952, NU menjadi partai politik sendiri,
setelah sekian lama bergabung dalam Masyumi kekuatan NU yang sebelumnya tidak
diperhitungkan, ternyata muncul kekuatan yang sangat besar. Dalam pemilu
pertama 1955, partai NU menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi
Banyak
tokoh NU menduduki posisi penting dalam pemerintahan,
a. DalamKabinet
Ali Sastroamijoyo I, KH. Zainul Arifin sebagai Wakil Perdana Menteri, KH.
Masjkur sebagai Menteri Agama dan Muhammad Hanafiah sebagai Menteri Agraria.
b. Dalam
Kabinet Burhanuddin Harahap, Sunaryo, SH menjadi Menteri Dalam Negeri dan KH. M.
Ilyas sebagai Menteri Agama.
c. Dalam
Kabinet Ali Sastroamijoyo II, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Wakil Perdana
Menteri, Sunaryo, SH sebagai Menteri Dalam Negeri, Mr Burhanuddin sebagai
Menteri Perekonomian, Kh. Fattah yasin sebagai Menteri Sosial dan KH. Ilyas
sebagai menteri Agama.
d. Dalam
Kabinet Karya, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri, Prof. Drs.
Sunarjo sebagai menteri Perekonomian yang kemudian digantikan oleh Drs. Rahmat
Mulyomiseno, KH. M. Ilyas sebagai Menteri Agama dan Sunaryo, Sh sebagai Menteri
Agraria.
e. Dalam
Kabinet Kerja, KH. A. Wahib Wahab sebagai Menteri Agama kemudian digantikan
oleh KH. Saifuddin Zuhri, KH. Fattah Yasin sebagai Menteri Penghubung Alim
Ulama’ dan H. M. Hasan sebagai Menteri PPP.
f. Dalam
Kabinet Dwikora, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Menko Kesra, KH. Saifuddin Zuhri
sebagai Menteri Agama, KH. Fattah Yasin sebagai Menteri Penghubung Alim Ulama’
yan kemudian digantikan oleh KH. M. Ilyas dan H. Aminuddin Aziz sebagai Menteri
Negara.
g. Dalam
Kabinet Ampera, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Menko Kesra dan KH. Saifuddin
Zuhri sebagai Menteri Agama.
h. Dalam
Kabinet Pembangunan I, KH. M. Dahlan sebagai Menteri Agama dan Dr. KH. Idham
Chalid sebagai Menko Kesra.
Selain
berkiprah dalam pemerintahan, pada masa ini banyak juga tokoh NU yang menduduki
posisi pimpiman dalam Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara. Mereka
adalah:
a) KH.Zainul
Arifin, menjadi Ketua DPR-GR (1962 – 1963).
b) HM.Subchan
ZE, Wakil Ketua MPRS (1966 - 1971).
c) KH.
A. Syaichu, Ketua DPR-GR (1966 - 1971).
d) Dr.
KH. Idham Chalid, Ketua MPR-DPR RI (1971 - 1978).
Di
samping banyak tokoh NU menempati posisi strategis dalam Kabinet, Lembaga
Tinggi Negara, banyak juga yang diangkat Duta Besar RI di luar Negeri.
5)
1973 – 1984
Sejak
Tahun 1973, Pemerintah Orde Baru ‘menerbitkan’ partai-partai peserta pemilu.
Dari 10 peserta pemilu 1971, disederhanakan menjadi dua partai: partai-partai
yang berazas nasionalis dileburkanke dalam partai Demokrasi Indonesia (PDI),
sedangkan partai-partai yang berazas islami dileburkan ke dalam Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Partai NU tidak diakui lagi, dan diharuskan
melebur kedalam PPP. Sedangkan Golongan Karya (Golkar), tidak diakui sebagai
partai lagi,tapi diperbolhkan sebagai salah satu peserta pemilu.
Pada
masa ini tokoh NU ‘dibersihkan’ dari pemerintahan. Bahkan Menteri Agama yang
sejak awal langganan tetap NU pun diberikan orang lain. Para tokoh NU juga
dikikis habis dari berbagai jabatan di pemerintahan. Hanya dua orang yang
diberi posisi penting, yaitu KH. Masjkur sebagai Wakil Ketua MPR-DPR RI (1977 -
1983) dan KH. Idham Chalid sebagai Dewan Pertimbangan Agung (1977 - 1982).
Dalam
kancah politik maupun pemerintahan, para tokoh NU benar-benar dipinggirkano
oleh pemerintah Orde Baru yang didukung penuh oleh TNI dan POLRI. Dalam dua
kali pemilu (1977 dan 1982) banyak tokoh NU masuk penjara dengan aneka macam tuduhan.Sebagai
dampak langsung dari sifat represif pemerintah kala itu, banayak Cabang NU
besrta Badan Otonmnya di daerah tidak aktif. Pengurusnya ketakutan.
6)
1984 – 1998
Lewat
Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984, NU memasuki babak baru. Setelah malang
melintang dalam dunia politik praktis selama 32 tahun, akhirnya NU kembali ke
jati dirinya seperti saat didirikan pada tahun 1926. Preristiwa itu dikenal
dengan istilah kembali ke Khittah 1962. NU telah lepas dari politik praktis dan
kembali ke jam’iyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mengurusi dakwah dan
keagamaan.
Dalam
dua kali pemilu kemudian (1987 dan 1992), banyak tokoh NU yang menjadi
penggembosan PPP. Selain karena paktor pribadi, aksi itu terjadi karena ekses
dari campur tangan pemerintah Orde Baru pada partai politik yang begitu
mendalam. Amat adanya unsur adu domba antara kelompk NU dan MI dalam kelom PPP.
Akibat dari unsure besar-besaran itu, PPP benar-benar gembos. Perolehan
suaranya merosot tajam.
Sementara
itu NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah
sakitnya yang telah lama terabaikan. Pengajian-pengajian mulai masuk ke
unit-unit pemerintahan.Hubungan ke pemerintah yang telah sekian lama terputus
dirajut kembali sedikit demi sedikit. Satui persatu Cabang dan ranting yang
mati dihidupkan kembali.Di sisi lain, nama NU semakin dikenal di luar Negeri.
Beberapa kali Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid mendapat penghargaan.
Bahkan untuk pertama kalinya Ketua Umun PBNU terpilih sebagai salah satu
presiden Agama-agama di dunia(WRCP).
7)
1998 – 2004
Ketika
terjadi euphoria pasca jatuhnya Presiden Soeharto dan terbukanya Orde Reformasi
dalam dunia politik (1998), NU kembali masuk kembali ke dalam kancah politik
praktis. PBNU memfasilitasi berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23
Juli 1998. Mau tak mau partai baru ini menyeret NU ke dalam permainan politik
lagi.
Untuk
pertama kalinya, Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), terpilih
sebagai Presiden Replubik Indonesia keempat, 1999. Mau tak mau naiknya Gus Dur
sebagai presiden membawa dampak psikologis bagi NU. Euforia kemenangan masuk ke
berbagai lini. Banyak tokoh NU yang semula terpinggirkan kembali masuk ke
pemerintahan. Namun ketika Gus Dur dijatuhkan lewat impeachment DPR pada 2003,
dampaknya juga sangat dirasakan oleh NU dan PKB. Posisi NU terasa goyang
dimana-mana. Meski Wakil Presiden dijabat oleh Hamzah Haz yang juga orang NU,
namun tetap tidak banyak memberikan perubahan. Posisi itu semakin diperburuk
dengan gonjang ganjing dalam tubuh PKB. Bahkan partai itu terbelah menjadi dua.
8)
2004 – sekarang
Lewat
muktamarnya yang ke-31 di Donohudon, Solo pada 2004, Nu meneguhkan kembali jati
dirinya untuk keluar dari politik praktis dan kembali ke jalan Khittah
sebagaimana yang pernah diputuskan dalam muktamar ke-27 di Situbondo pada 1984.
Perjuangan Nu lebih difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, ekonomi
dan dakwah. Sementara dalam politik praktis NU menjaga jarak yang sama terhadap
semua partai politik.
Pada
masa ini nama NU semakin dikenal di luar negeri. Bahkan telah menbuka Pengurus
Cabang Istimewa (PCI) di beberapa negara. Tak kurang dari PCI Amerika,
Australia, Inggris, Jepang, Saudi Arabia, Sudan, Mesir dan lain sebagainya
telah didirikan. Sedikit demi sedikit para mahasiswa NU dikirim untuk belajar
ke luar negeri, dengan biaya ataupun fasilitas dari PBNU.
Pada
tahun 2004 NU memprakarsai berdirinya International Conference of Islamic
Scholars (ICIS, Konferensi Internasional Cendekiawan Islam) di Jakarta. ICIS
adalah sebuah organisasi Islam yang beranggotakan ulama’-ulama’ moderat
sedunia. Lewat ICIS itu pula nama Nahdlatul Ulama’ semakin dikenal di pentas
dunia sebagai pelopor gerakan Islam moderat, hingga sekarang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari materi-materi yang sudah disampaikan di atas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) Didirikan pada 16 Rajab 1344 H
(31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari
sebagi Rais Akbar, Nahdlatul
Ulama menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil
jalan tengah antara ekstrim aqli
(rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli
(skripturalis), Jumlah
warga Nahdlatul Ulama atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari
40 juta orang, dari beragam profesi. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi
karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga
sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah dan pada umumnya mereka memiliki ikatan
cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat
dan cagar budaya NU.
B. Saran
Perlu adanya bimbingan khusus untuk masyarakat pada umunya
dan pelajar maupun mahasiswa pada khususnya untuk lebih mempelajari seluk beluk
mauapun sejaran tentang Nahdlatul Ulama (NU). Selain itu, peran tokoh
masyarakat yang mendukung untuk lebih meningkatkan NU di mata masyarakat.
C. Harapan
Harapan kami sebagai pelajar khususnya, untuk ke depannya
semoga masyarakat dan para pelajar lebih mengetahui dan memahami tentang
ke-NU-an.
referensi :
http://www.masbied.com/2012/03/26/nahdhatul-ulama-latar-belakang-dan-sejarah-berdirinya-nahdhatul-ulama-nu/
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/31/kilas-sejarah-seputar-pendirian-nu/
http://artikelkomplit2011.blogspot.com/2012/02/sejarah-nu.html
http://ppssnh.malang.pesantren.web.id/cgi-bin/content.cgi/artikel/sejarah_nahdlatul_ulama.single?seemore=y
http://mbahduan.blogspot.com/2012/03/makalah-sejarah-nu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar